REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG — Sebanyak tujuh judul film karya mahasiswa-mahasiswi Telkom University (Tel-U) menjadi media pembelajaran di ‘Indonesia Mengajar’. Film tersebut di antaranya “Dibalik Kilang”, “Kabayan Chicago”, “Longser Gaul”, “Ride the Life”, “Virgin?Cupu”, “Di Ambang Batas”, dan “Permainan dalam Masanya”. Ke tujuh film dokumenter tersebut mengangkat isu-isu sosial di kalangan masyarakat Indonesia.
“Ketujuh film ini adalah karya mahasiswa Broadcast Prodi Ilmu Komunikasi Tel-U angkatan 2011. Film ini dibuat sebagai tugas akhir untuk mata kuliah Produksi Film. Mereka sangat antusias mengerjakan tugas produksi film karena karyanya akan dipersembahkan untuk Indonesia Mengajar. Film ini akan bermanfaat bagi masyarakat di daerah terpencil,” kata dosen Ilmu Komunikasim Freddy Yuswanto MDs, Ahad (14/2).
Kata dia, guru-guru ‘Indonesia Mengajar’ itu tidak seperti guru di kota besar yang memiliki jam mengajar yang sudah ditentukan. Mereka hadir dalam keseharian masyarakat di daerah terpencil. Mereka mengedukasi masyarakat bisa kapan saja baik pagi, siang, sore atau malam dalam situasi yang tidak formal.
“Film dokumenter bisa menambah wawasan yang mungkin bagi masyarakat daerah terpencil tidak terpikirkan sebelumnya,” kata Freddy.
Ke tujuh film dokumenter di putar di Aula Fakultas Komunikasi Bisnis Kampus Tel-U, pada acara Broadcast Movie Project, Jumat (13/2). Mewakili Indonesia Mengajar, Edi Subakti, menyaksikan langsung film-film itu diputar.
Menurut Edi, film dokumenter ini bisa menjadi tontonan edukatif bagi masyarakat di daerah terpencil. Selain itu menghibur, film dokumenter juga bisa membangkitkan inspirasi di kalangan masyarakat.
“Saya pernah menayangkan film dokumenter tentang kota-kota di luar negeri saat mengajar di Kabupaten Paser. Ternyata film dokumenter dapat membangkitkan motivasi masyarakat di desa tersebut,” kata Edi dalam sambutannya.
Jujur dan informatif
Film dokumenter bukan sekedar media tontonan. Film dokumenter salah satu karya jurnalistik yang memotret masyarakat, peristiwa dan kondisi yang benar-benar terjadi di dunia realita.
“Film dokumenter sifatnya edukatif jadi penyajian informasinya harus kuat. Kendati demikian, secara teknis pembuat film harus memperhatikan unsur hiburannya juga. Misalnya gambar yang ditampilkan bisa dibuat secantik mungkin,” kata Freddy.
Menurut Freddy, pembuatan film dokumenter membutuhkan effort lebih berat. Karena pada pra produksi, tim harus melakukan serangkaian observasi terlebih dahulu. Bahkan untuk memasuki lokasi pengambilan gambar itu tidak mudah. Mahasiswa harus melakukan pendekatan-pendekatan dulu terhadap tokoh masyarakat setempat agar dapat melakukan wawancara dan pengambilan gambar. Dan pendekatan-pendekatan ini prosesnya panjang. Namun harus tetap dijalani karena mahasiswa harus mendapatkan izin untuk syuting di lokasi.
Film dokumenter yang tayang di Broadcast Movie Project yakni “Di Balik Kilang”,”Permainan Pada Masanya”, “Kabayan Chicago”, “Longser Gaul”, “Ride The Life”, “Virgin?Cupu”, dan “Di Ambang Batas”. Ke tujuh film tersebut telah berhasil menempatkan sudut pandang tertentu terhadap isu sosial.
Film “Dibalik Kilang” menyoroti suatu cerita dibalik sumur-sumur tua peninggalan jaman penjajahan Belanda di Wonocolo. “Di Balik Kilang” menggambarkan tentang bagaimana sumur-sumur tua itu masih berfungsi dan membawa pengaruhnya kepada kehidupan ekonomi masyarat setempat.
Sedangkan film bertema budaya diwakilkan oleh film “Kabayan Chicago”, “Longser Gaul” dan “Permainan Pada Masanya”. Ketiga film ini menyampaikan ajakan kepada masyarakat khususnya generasi muda agar menjaga budaya dan kesenian trandisional Indonesia yang kini sudah mulai tergeser dengan budaya populer. Film dokumenter “Red The Life” dan “Di Ambang Batas” memotret kehidupan masyarakat dalam usahanya mempertahankan hidup di kota besar. Sedangkan “Virgin?Cupu” mengangkat isu remaja di tengah kehidupan modern. Film ini menyampaikan pesan bahwa kehidupan modern tidak selamanya membawa kemajuan, melainkan kemunduran yang ditandai dengan rusaknya nilai-nilai ketimuran.
Sumber Republika Online