Program Studi Ilmu Komunikasi

LISKI: Pemasaran Online dan Etika Beriklan

Rabu, 28 Januari 2015

 
 

Lingkar

LISKI23
Foto bareng peserta LISKI

Studi Komunikasi (LISKI) -tidak seperti sebelum-sebelumnya yang membawakan tema cenderung filosofis- pada pertemuan kali ini membawakan tema yang lebih praktis. Sylvie Nurfebiaraning tampil sebagai pembicara dengan tema “Periklanan Online“. Tidak disangka, tema praktis semacam itu justru menarik banyak minat. Terbukti dari banyaknya peserta yang hadir yaitu lebih dari tiga puluh orang -mungkin bisa dikatakan sebagai LISKI dengan peserta terbanyak sepanjang sejarah penyelenggarannya-.

 

Sylvie membuka diskusi dengan memaparkan fenomena beriklan online seperti websites, display ads, banner ads, rich media formats (pop ups, video ads), blogs, email, dan search engine advertising. “Belakangan ini, beriklan online cenderung lebih disukai ketimbang beriklan offline. Mengapa? Agaknya karena biaya yang jauh lebih murah. Tidak hanya itu, aksesnya juga relatif luas, cepat, dan bersifat personal,” tambah Sylvie. Pernyataan Sylvie tersebut sepertinya tidak berasal dari ruang hampa. Ia juga menyertakan data bahwa penggunaan media online memang tengah marak -dan akan bertambah marak-. “Indonesia,” kata Sylvie, “Menempati peringkat ketiga -setelah Malaysia dan Filipina- dalam penggunaan media digital seperti mobile media dan PC.” Sylvie kemudian juga menambahkan bahwa dari penggunaan media digital tersebut, konsumsi terhadap media sosial adalah yang paling tinggi -jauh di atas penggunaan radio streaming, TV streaming, dan blogging. Kemudian, apa arti dari seluruh paparan tersebut? Sylvie lebih memilih untuk melemparkannya pada forum, “Silakan jika ada yang menanggapi dari sudut pandang manapun, boleh filsafat, sosial, budaya, ataupun ekonomi.”

Pembahasan pertama adalah tentang etika dalam beriklan itu sendiri. Rana Akbari Fitriawan merasa bahwa iklan-iklan dalam media digital seringkali mengganggu, “Kita tentu agak risih jika sedang membuka suatu situs, lantas mendadak ada iklan pop up yang membuat kita harus menunggu sekian lama sebelum iklan tersebut dapat ditutup.” Pertanyaannya, adakah hukum yang mengatur hal tersebut? Hadi Purnama mencoba menjawab, “Rasanya untuk hal-hal terkait dengan beriklan online, belum ada aturan yang jelas. Kalaupun ada hal-hal yang dianggap tidak etis, yang bisa dilakukan adalah memberi surat peringatan dan meminta agar iklan tersebut ditarik dari peredaran.”

Namun Hadi sendiri tidak menolak kenyataan bahwa beriklan online adalah hal yang amat digemari belakangan. Bahkan para perusahaan sudah dapat dengan cerdik menggunakan buzzer atau orang yang mempunyai banyak pengikut di media sosial, untuk turut mempromosikan produknya sendiri. “Orang seperti Raditya Dika, yang jumlah follower di Twitter-nya bisa mencapai jutaan, bisa dibayar mahal untuk satu kali tweet tentang sebuah produk.” Dengan demikian, dunia maya sebenarnya adalah tempat iklan bermunculan secara meriah. Bahkan mungkin kita menjadi sulit untuk mengakses situs tertentu akibat terlalu banyaknya iklan yang hadir. Selain itu, jika ada seorang netizen yang juga sekaligus public figure, bisa jadi kita menjadi sulit untuk memahami jalan pikiran sebenarnya, karena sudah kadung dieksploitasi oleh perusahaan tertentu sehingga ucapan-ucapannya menjadi mengarah pada suatu produk.

Meskipun bisa demikian terganggu oleh iklan-iklan yang bertebaran di dunia maya, Sylvie mengatakan, “Justru semakin kita terganggu oleh iklan-iklan tersebut, artinya iklan itu berhasil memasuki alam bawah sadar kita.” Demikian kalimat tersebut menjadi penutup diskusi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top